Manado,Rekam-jejak.id – Di tengah gembar-gembor pembangunan berkelanjutan, reklamasi pesisir pantai Manado jilid II justru tampil sebagai antitesis, sebuah ironi yang mencolok. Ia adalah perampokan ekologis yang dibungkus rapi dengan jubah kemajuan, sebuah sandiwara yang memilukan.
Benteng-benteng alami seperti mangrove yang kokoh, terumbu karang yang menjadi rumah bagi ribuan spesies laut, hingga rotifera dan larva nener yang memelihara ekosistem pantai—semuanya terancam oleh ambisi beton dan kepentingan komersial yang tak terkendali. Proyek ini, sayangnya, berjalan tanpa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang memadai, sebuah kelalaian yang tak termaafkan.
Gubernur Sulawesi Utara dua periode (2016-2024), Olly Dondokambey, dengan senyum seorang politisi yang kenyang pengalaman, memberikan restu kepada pengembang reklamator, Agus ‘Elektrik’ Abidin. Sosok yang lebih dikenal sebagai makelar tanah daripada pelindung lingkungan ini, melenggang bebas tanpa partisipasi publik yang berarti, tanpa transparansi master plan, dan tanpa rasa malu sedikit pun.
Jared Diamond, dalam bukunya Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed (2005), mengingatkan kita bahwa peradaban bisa runtuh bukan karena perang atau meteor, melainkan karena keserakahan yang dilegalkan. Ia menyebut ekosida sebagai bentuk bunuh diri kolektif, ketika masyarakat gagal merespons kerusakan lingkungan yang mereka ciptakan sendiri. Di Manado, kita menyaksikan babak baru dari skenario itu: laut yang dulu memberi kehidupan, kini dijadikan lahan parkir bagi para investor.
David Korten, dalam When Corporations Rule the World (1995), menyatakan bahwa ketika korporasi menguasai kebijakan, demokrasi hanya menjadi hiasan belaka. Reklamasi Manado bukan sekadar proyek pembangunan, melainkan manifestasi dari ekonomi bunuh diri (suicide economy) yang mengorbankan ekosistem demi keuntungan semata. Nelayan dipaksa untuk mengungsi, mata pencaharian mereka dirampas, dan laut diubah menjadi komoditas. Bahkan larva nener, sumber bibit ikan, tak sempat mengajukan protes sebelum habitatnya ditimbun dengan berton-ton batu cadas yang dikeruk dari bukit-bukit batu di selatan Manado.
Ironisnya, pemerintah daerah lebih sibuk memoles narasi “investasi strategis” daripada menyelamatkan ekosistem yang terancam. Mereka berbicara tentang pertumbuhan ekonomi, tetapi lupa bahwa pertumbuhan tanpa keseimbangan adalah kanker yang menggerogoti. Mereka berbicara tentang kemajuan, tetapi tak pernah menjelaskan mengapa kemajuan harus dimulai dengan menghancurkan alam.
Solusinya bukan sekadar moratorium reklamasi, tetapi reformasi total tata kelola pesisir. Amdal harus menjadi syarat mutlak, bukan sekadar formalitas yang diabaikan. Partisipasi aktif dari nelayan dan komunitas lokal harus menjadi fondasi utama, bukan gangguan yang diabaikan. Dan yang terpenting, laut harus dipandang sebagai entitas hidup yang bernilai, bukan sekadar ruang kosong yang bisa ditimbun dan dieksploitasi.
Karena jika kita terus membiarkan kebijakan publik dijadikan dalih untuk merampok alam, maka kita tidak sedang membangun masa depan yang berkelanjutan—kita sedang menggali kuburan bersama.
Baca Juga : 👇
Respon (2)