Konflik agraria di Indonesia merupakan isu kompleks dan mendalam yang melibatkan aspek sosial, ekonomi, dan politik.
Sejak masa kolonial hingga era reformasi, perebutan dan pemanfaatan lahan terus menimbulkan ketegangan antara masyarakat lokal dengan pemangku kepentingan lainnya, seperti pemerintah dan korporasi. Hal ini membutuhkan perhatian serius dalam konteks politik hukum di Indonesia.
Kelemahan Penegakan Hukum Pertanahan:
Beberapa faktor krusial sering diabaikan dalam penegakan hukum pertanahan, menyebabkan masalah dan sengketa yang berkepanjangan. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Lemahnya Penegakan Hukum: Banyak kasus sengketa tanah yang mandek di pengadilan, atau menghasilkan keputusan yang tidak adil, seringkali menguntungkan pihak yang memiliki kekuatan ekonomi atau pengaruh.
2. Kurangnya Koordinasi Antar Lembaga: Tumpang tindih kewenangan antar instansi pemerintah (pertambangan, kehutanan, lingkungan hidup) menimbulkan kebingungan dan celah hukum yang mudah dimanfaatkan.
3. Ketidakjelasan Data dan Informasi Pertanahan: Data yang tidak lengkap, berbeda antar instansi, atau tidak akurat menghambat sertifikasi dan pendaftaran tanah, serta memicu sengketa.
4. Politik Hukum yang Tidak Berpihak pada Masyarakat: Kebijakan pembangunan yang mengutamakan ekonomi sering mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan lokal, aspek sosial, keadilan, dan keberlanjutan lingkungan.
5. Keterbatasan Akses Keadilan: Masyarakat kecil kesulitan mengakses informasi hukum, menghadapi biaya tinggi, dan proses peradilan yang berbelit.
6. Kurangnya Partisipasi Masyarakat: Proses perencanaan pembangunan yang tidak melibatkan masyarakat memicu konflik dan penolakan.
7. Praktik Mafia Tanah: Manipulasi data, pemalsuan dokumen, dan perampasan tanah secara ilegal semakin memperparah situasi.
Faktor-faktor lain yang berkontribusi meliputi korupsi, kurangnya pemahaman masyarakat tentang hak-hak mereka, dan masalah administrasi pertanahan yang rumit.
Peran Politik Hukum dalam Penyelesaian Konflik Agraria:
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 seharusnya menjadi fondasi penyelesaian konflik agraria, tetapi implementasinya sering terhambat oleh kebijakan yang tidak konsisten dan tumpang tindih. Politik hukum yang adaptif sangat dibutuhkan. Aspek pentingnya adalah kemampuan untuk mengakomodasi hak-hak masyarakat lokal, khususnya masyarakat adat yang memiliki hubungan kuat dengan tanah yang dikelola. Pemerintah perlu mengembangkan kebijakan yang proaktif dan berpihak pada keadilan sosial, bukan hanya pertumbuhan ekonomi. Mediasi dan dialog antara pihak yang berkonflik, serta lembaga penyelesaian sengketa yang independen, juga sangat penting. Pendidikan hukum untuk memberdayakan masyarakat juga krusial.
Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Pertanahan:
Penegakan hukum dalam tindak pidana pertanahan, termasuk penetapan tersangka, harus mengikuti proses hukum yang memastikan keadilan dan kepastian hukum. Penetapan tersangka minimal didasari dua alat bukti sah (Pasal 184 KUHAP). Prosesnya meliputi penyelidikan, penyidikan, penetapan tersangka, pemeriksaan calon tersangka, upaya paksa (jika perlu), pemberkasan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, dan putusan pengadilan. Tindak pidana pertanahan yang umum terjadi meliputi penyerobotan tanah, pemalsuan dokumen, penyalahgunaan wewenang dalam pendaftaran tanah, dan pemakaian tanah tanpa izin.
Aspek dan Implikasi Hukum dalam Pendaftaran Tanah dan Penertiban Sertifikat:
Banyak permasalahan hak atas tanah muncul di masyarakat, dan banyak gugatan diajukan ke pengadilan. Pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikat sebagai perbuatan hukum harus memenuhi syarat dan bebas dari kesalahan teknis maupun yuridis. Kesalahan data fisik atau yuridis menghilangkan kepastian hukum dan merugikan pihak yang berhak. Kriminalisasi dalam pendaftaran tanah diatur dalam Pasal 52 UUPA 1960 dan Peraturan Pemerintah terkait, namun kebijakan ini telah berubah menjadi dekriminalisasi (PP No. 24 Tahun 1997). Meskipun demikian, KUHP tetap dapat digunakan sebagai dasar penyidikan pelanggaran dan kejahatan di bidang pertanahan.
Kesimpulan:
Penyelesaian konflik agraria membutuhkan upaya bersama pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat. Sistem hukum pertanahan yang berkeadilan, transparan, dan partisipatif sangat dibutuhkan. Politik hukum yang adaptif, inklusif, dan berpihak pada keadilan sosial menjadi kunci utama dalam mengatasi masalah ini. Penguatan penegakan hukum dan pemberdayaan masyarakat merupakan langkah penting untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya agraria di Indonesia.
Oleh : AKBP (Purn) Frangky Harimisa,SE
Baca Juga : 👇
Respon (1)