Manado,Rekam-jejak.id – Dalam lanskap hukum pertanahan yang sering kali berliku, sengketa kepemilikan tanah menjadi isu yang tak kunjung usai. Baru-baru ini, PT Meares Soputan Mining (MSM) memberikan tanggapan terhadap aksi dua warga yang mengklaim membongkar praktik mafia tanah di Sulawesi Utara, sebuah kasus yang mencerminkan betapa rumitnya masalah ini.
Menurut Humas PT MSM, Inyo Rumondor, klaim yang dilayangkan oleh perwakilan keluarga Herman Loloh Wantah—pemilik sertifikat hak milik sejak 1982—sebenarnya tidak lagi relevan. Tanah yang dipersoalkan, menurut Rumondor, telah melalui proses jual beli yang sah dengan PT MSM di masa lalu. Pernyataan ini membuka tabir sebuah realitas yang sering terjadi: klaim kepemilikan yang muncul dari generasi penerus, tanpa mempertimbangkan transaksi yang telah dilakukan oleh pendahulu mereka.
Rumondor juga menyoroti fenomena di mana beberapa pihak membuat surat keterangan tapal batas secara mandiri, sebuah tindakan yang menimbulkan kebingungan di pihak PT MSM. Hal ini menggarisbawahi pentingnya validitas dokumen dan proses hukum yang transparan dalam setiap transaksi pertanahan.
Menanggapi situasi ini, Rumondor dengan bijak menantang pihak yang merasa memiliki hak untuk menempuh jalur hukum yang benar, yaitu melalui gugatan perdata di pengadilan. Imbauan ini adalah cerminan dari keyakinan bahwa hukum adalah mekanisme yang paling tepat untuk menyelesaikan sengketa, bukan melalui tekanan atau opini publik di media sosial.
Kasus ini adalah pengingat bagi kita semua tentang pentingnya kehati-hatian dalam setiap transaksi pertanahan. Validasi dokumen, penelusuran riwayat kepemilikan, dan pemahaman yang mendalam tentang hukum pertanahan adalah langkah-langkah krusial untuk menghindari sengketa di kemudian hari. Lebih dari itu, kasus ini juga menyoroti perlunya pendekatan yang bijaksana dan berkeadilan dalam menyelesaikan setiap sengketa, demi menjaga harmoni dan kepastian hukum di masyarakat.
Baca Juga : 👇
Respon (1)